SYEKH NURJATI
Syekh Nurjati adalah tokoh perintis
dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada
saat berdakwah di Giri Amparan Jati,atau disebut juga dengan nama Gunung Jati.
Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal
dengan nama Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis
singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda
pergi ke mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad
dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra putri.
Lalu beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura
(sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dimakamkan di Giri
Amparan Jati.
Syekh Nurjati di Tempat kelahiran
nya, pertengahan Abad ke- 14
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal
dengan nama Syekh Datul Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama
besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama
yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama
Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil).
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang
adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian
mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon; dan seorang adik wanita yang
menikah dengan Raja Upih Malaka. Lalu
dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak menikah dengan
Dipati Unus dari Demak.
Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan pergi
ke Mekah
Sehubung dengan lamanya Syekh
Nurjati bermukim di Mekah dan menuntut ilmu disana, maka sebagian naskah
menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.
Syekh Nurjati pergi ke Bagdad
Setelah menuntut ilmu di Mekah,
Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan mengajarkannya
di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah,
putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari
Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah
Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan tersebut, mereka
dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon
bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim(kelak bergelar Pangeran
Kejaksan). Fatimah(yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datuk Kahfid
(kadang kadang disebut juga sebagai sosok Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat
rancu dengan sosok ayahnya sendiri yaitu Syekh Datul Kahfi,atau Syekh Nurjati
di beberapa manukrip yang lebih muda umur nya. Keempat anak tersebut dijamin
nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja
Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad keran menikahi putri mahkota
raja Bagdad.
Syekh Nurjati hidup pada abad
pertengahan, antara abad 14 – 15 dan pernah bermukim di Bagdad.
Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan
berumah tangga dan di karuniai empat orang putra putri. Kemudian Syekh Nurjati
di utus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah jawa serta menuruti suara hati
nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama
istrinya, pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang
masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan
Muara Jati dengan penguasa pelabuhan bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Ageng Jumajan
Jati. Sesampainya di pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama
menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/Nyi Rara Api.
Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke
Pesambangan
Perkampungan yang dekat dengan Pelabuhan
Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban
Nagari,dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh
Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati setelah
pendaratan Syekh Quro dan rombongannya. Syekh Nurjati bersama rombongan dari
Bagdad sebanayk sepuluh pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati.
Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki
Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin
dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil
yang bernama Giri Amparan Jati.
Ditempat baru tersebut, Syekh Nurjati
giat berdakwah sebagai da’i mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk
agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang orang berdatangan
dan menyatakan diri nya masuk islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin
banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
Dalam interaksinya dengan masyarakat
sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu
Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari jawa
barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar
kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan pria tersebut Hadijah tidak
dikaruniai putra, namun setelah pria itu meninggal dunia, Hadijah memperoleh
seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal , Hadijah
bersama kedua orang tua nya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan.
Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh
Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantern yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan Syekh Nurjati dengan
Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak
menikah dengan Ki Gede Krangken.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh
Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri Amparan Jati
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan
Syekh Nurjati adalah sama sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin
generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amaparan bersama
rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan
Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-Tu). Armada angkatan Laut tersebut dipimpin
oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara
Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak
melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan.
Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro beserta pengiringnya
turun. Syekh Quro akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di
Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam
secara formal yang pertama kali di Jawa
Barat, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Gerakan
dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling
membantu satu sama lain. Syekh Quro mengirim orang kepercayaannya yang bergelar
Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan Makam
Penghulu Karawang di Amparan Jati.
Keharmonisan
dakwah anatara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1. Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas
Keraton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa
pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan
anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2. Putri Karawang memberikan sumbangan
hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung yang bernama Masjid
Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu,yang sampai sekarang masih terawat dengan
baik.
3. Pengangkatan juru kunci di situs
makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden
Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang dikenal
dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro,
Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah).
Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang
Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng
Tapa dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh
yang di pimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Raden Pamanah Rasa melamar
sang putri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden
Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran
Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa
dengan Puteri Subang Keranjang dikaruniai tiga orang putra yaitu Pangeran
Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang dan Pangeran Raja Sengara/ Kean
Santang.
Pangeran Walangsungsang
dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang Ke Amparan Jati
Dikampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena
menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama
Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengilutnya semakin banyak, hingga
akhirnya pengguron kedatangan
Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Gelius/ Endang Ayu dan
adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari Islam.
Mereka
adalah Cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati jalur Ibunya. Kedatangan
mereka ke Gunung Jati disamping melaksanakan perintah ibundanya sebelum
meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian
mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu siliwangi.
Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang
meninggal dunia. Tetapi kedua putra putri itu sudah dididik dan diberi petunjuk
oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung jati.
Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri
Syekh Nurjati di Pesambangan Jati.
Syekh
Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah
yang berbunyi : Yaa ayyuhalladzina aamanu
udkhulu fissilmi kaffah ( hai orang orang yang beriman masuklah ke dalam
agama Islam secara keseluruhan ). Kemudian ia menjelaskan kandungan pokok
ajaran Islam, yakni salat lima waktu,
zakat, shaum (puasa), ibadah haji, umrah , perang sabil, ajakan ke arah
kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam
ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok
agama), ilmu fiqih (aturan hukum
keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian
diri).
Ajaran
perang sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang
dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan
lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam
azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut
:
Setelah ajaran
tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan.
Misalnya pelajaran ilmu fiqih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama
Islam. Pelajaran ini masih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang
tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang
menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru
Pangeran Nurbuat, tarekat Syattariah masuk ke wilayah Ciebon dibawa oleh Syekh
Nurjati.
Dari
pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang,istri,dan adiknya
mendapat anugerah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena
cerita pertemuan Pangeran Walangsungsang
dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran
Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk menekuni
wejangan wejangan yang diterimanya.
Sebelum
menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu
Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih dahulu
berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari
ilmu-ilmu di luar ilmu ilmu islam.
Setelah tiga
tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh
Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat
berupa reinterprestasi ajaran-ajaran non- Islam dari para guru Pangeran
Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandangan Islam. Hal ini terungkap
pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada tiga orang tersebut.
Syekh
Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada pada
Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah
kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya
suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi
pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walangsungsang
bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah
berguru di pengguron Islam Gunung
Jati telah memiliki keteguhan iman. Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati
memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang
Ayu untuk membuka perkampungan baru di
selatan Gunung Jati untuk penyiaran agam Islam.
Syekh Nurjati
Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah
menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa),
Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung
Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lewah Wungkuk. Dikawasan tersebut
ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua Somadullah).
Setibanya di
tempat tujuan, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki
Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma
waqo ‘tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut
kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan
mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
Pada tanggal
14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 saka atau Kamis tanggal 8 April tahun
1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah,
Pangeran Walangsungsang dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di
hutan kebon pesisir.
Dengan
semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walangsungsang dapat menyelesaikan
perkerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau kebon pesisir diberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama
adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadi pangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan
julukan KI Cakrabumi.
Pangeran
Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang
diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah diatas laut).
Seusai
membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di kebon
pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu
Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan
disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti
nasehat Syekh Nurjati dan berhasil bertemu Syekh Ibrahim di Campa.
Di Campa
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari
Syekh Ibrahim, selnjutnya Syekh Ibrahim menyuruh keduanya untuk melanjutkan
perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh
Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
Setelah
berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan
Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu
Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/ Syarif
Abdullah.
Syarif Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang
bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan ini lahir lah Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajan
ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah
Jawa.
Syekh Bayanullah (adik
Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
Syekh
Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang)
setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren
Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari, putri
Surayana, pengusa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana
dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana
Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, penguasa Kuningan. Ratu Selawati
adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak Bratawijaya (Arya
Kemuning). Meraka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh
uwaknya Pangeran Walangsungsang.
Kedatangan Pangeran
Panjunan
Bagian ini
diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan
karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif
Abdurrakhim, Syarif Bagdad, dan Syarif Khafid mempelajari Tasawuf yang tidak
disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal
bakal kesenian Brai di Cirebon.
Syarif
Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan ke Cirebon
sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga adiknya dan
1.200 pengikutnya yang di angkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba
di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana dan meminta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian
diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman ini
dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan. Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan
bersama para wali mendirikan sebuah masjid yang lebih dikenal dengan sebutan
Masjid Merah Panjunan.
Pangeran
Panjunan merupakan putra pertama dari Syekh Nurjati. Beliau menetap di daerah
Panjunan dan mengembangkan industri gerabah di daerah tersebut. Pangeran
Panjunan kemudian mendirikan Pesanggrahan Dakwah di Wringin Pitu (daerah
Plangon Sumber, Kabupaten Cirebon) samapi akhir hayatnya dan dimakamkan di
daerah tersebut.
Sedangkan
Syarif Abdurrakhim, putra kedua Syekh Nurjati, bertempat tinggal di Kejaksan
dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka
bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarif
Bagdad menetap di Gunung Jati. Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif
Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan
sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak
mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putra nya diangkat
menjadi mahkota. Namun kedua putra nya
baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam
usia muda.
Wejangan Syekh Nurjati
kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
Setelah
berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475
mendarat di Amparan Jati dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang
pada saat itu menjadi kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan
keponakannya tersebut dan mendukung niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran
Walangsungsang memberi nasehat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih
dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh
Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petunjuk,
bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat
menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam.
Syekh
Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh
yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan,
Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh
Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah.
Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah
pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang
tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya :
“Wahai
murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita
laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana
pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk
masyarakat islamiyah itu?”.
Para murid
dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah
berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok
dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh
dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi
dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum
meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun” , yang artinya ada
kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berperan bahwa Syekh Khafid
adalah pengganti Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang
memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama
dengan Syekh Datul Kahfi.
Beberapa
saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Nurjati
yang meninggal dunia. Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai
Guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, di singkat
Syekh Jati.
Semasa
hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamati setiap santri yang akan meninggal
Pangguron, dengan perkataan “settana” artinya berpegang teguhlah semua
pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati.
Gapura Bersayap di
Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh
Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah
meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan
di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura
bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama
Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang
Cirebon, pada awal abad ke 15 – 17 Masehi.
Pintu yang
ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya
maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia(ruh) unutk mencapai
kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagai lambang kematian
merupakan gambaran yang sangat tepat dan
sesuai dengan pribahasa Arab yang berbunyi “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu” , maut adalah pintu dan
setiap orang akan memasukinya.
Jika pintu
bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambangan bagi
Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika
ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para
malaikat itu bersayap.
Sumur Jalatunda
Di
pasembangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, Yakni sumur
Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau sepanjang kehidupan. “jala” dari bahasa
Arab “jalla” yang artinya luhur atau agung, dan “tundha” yang artinya titipan,
sedankan “tegangpati” berarti serah
jiwa.
Nama-nama Tokoh yang
Dimakamkan di Gunung Jati bersama Syekh Nurjati
Tercatat
beberapa makam tokoh-tokoh penting cirebon diantaranya :
1. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi)
2. Syekh Siti Jenar
3. Tentara Putri Ong Tin
4. Ki Gedeng Jati
5. Penghulu Karawang
6. Pangeran Jaya Sampurna
7. Ki Jaka Tawa
8. Dewi Rara Panas
9. Syekh Tolhah
10. Letjen (Purn) Ismail Saleh
KESIMPULAN
Dalam
kegiatan observasi ini dan penulisan karya ilmiah ini kami dapat mengetahui
tentang sejarah perkembangan islam di cirebon dan sejarah tentang Syekh Nurjati.
Adapun kesimpulan lainnya sebagai berikut.
1. Syekh Nurjati adalah tokoh perintis
dakwah islam di wilayah Cirebon.
2. Syekh Nurjati adalah seorang tokoh
agama islam yang berdakwah di Giri Amparan Jati merupakan fakta sejarah bukan
tokoh fiksi.
3. Pembuktian keberadaan Syekh Nurjati
menggunakan bukti sekunder dan ingatan kolektif masyarakat serta bukti
arkeologis di sekitar makam Syekh Nurjati.
SARAN
Agar melalui
buku ini dapat masyarakat dapat mengetahui sejarah tentang Syekh Nurjati dan
Sunan Gunung Jati , serta dapat mensosialisasikan tentang sosok Syekh Nurjati.
Dan agar masyarakat tidak salah persepsi tentang Syekh Nurjati
DAFTAR PUSTAKA
Drh. H. R. Bambang
Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon
: Zulfana Cierbon