Jumat, 22 Februari 2013

perkembangan islam di cirebon



SYEKH NURJATI

            Syekh Nurjati adalah tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati,atau disebut juga dengan nama Gunung Jati.
            Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra putri. Lalu beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dimakamkan di Giri Amparan Jati.

Syekh Nurjati di Tempat kelahiran nya, pertengahan Abad ke- 14
            Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil).
            Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon; dan seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka.  Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.

Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan pergi ke Mekah
            Sehubung dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah dan menuntut ilmu disana, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.

Syekh Nurjati pergi ke Bagdad
            Setelah menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
            Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim(kelak bergelar Pangeran Kejaksan). Fatimah(yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datuk Kahfid (kadang kadang disebut juga sebagai sosok Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya sendiri yaitu Syekh Datul Kahfi,atau Syekh Nurjati di beberapa manukrip yang lebih muda umur nya. Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad keran menikahi putri mahkota raja Bagdad.
            Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14 – 15 dan pernah bermukim di Bagdad.
            Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan di karuniai empat orang putra putri. Kemudian Syekh Nurjati di utus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya di pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/Nyi Rara Api.

Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
            Perkampungan yang dekat dengan Pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari,dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongannya. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanayk sepuluh pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
            Ditempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai da’i mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang orang berdatangan dan menyatakan diri nya masuk islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
            Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari jawa barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria itu meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal , Hadijah bersama kedua orang tua nya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantern yang bernama Pesambangan Jati.
            Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki  Gede Krangken.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri Amparan Jati
            Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amaparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-Tu). Armada angkatan Laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias  Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro beserta pengiringnya turun. Syekh Quro akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara  formal yang pertama kali di Jawa Barat, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
            Gerakan dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling membantu satu sama lain. Syekh Quro mengirim orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan Makam Penghulu Karawang di Amparan Jati.
            Keharmonisan dakwah anatara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1.      Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Keraton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2.      Putri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu,yang sampai sekarang masih terawat dengan baik.
3.      Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang di pimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Raden Pamanah Rasa melamar sang putri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang dikaruniai tiga orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang dan Pangeran Raja Sengara/ Kean Santang.

Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang Ke Amparan Jati
            Dikampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengilutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Gelius/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari Islam.
            Mereka adalah Cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati jalur Ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati disamping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra putri itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati.
            Syekh Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang berbunyi : Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah ( hai orang orang yang beriman masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan ). Kemudian ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni salat lima waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah haji, umrah , perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian diri).
            Ajaran perang sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
            Wejangan lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut :
            Setelah ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fiqih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam. Pelajaran ini masih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat, tarekat Syattariah masuk ke wilayah Ciebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
            Dari pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang,istri,dan adiknya mendapat anugerah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Pangeran  Walangsungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk menekuni wejangan wejangan yang diterimanya.
            Sebelum menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu ilmu islam.
            Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat berupa reinterprestasi ajaran-ajaran non- Islam dari para guru Pangeran Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandangan Islam. Hal ini terungkap pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada tiga orang tersebut.
            Syekh Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada pada Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walangsungsang bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan iman. Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agam Islam.


Syekh Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
            Setelah menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lewah Wungkuk. Dikawasan tersebut ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua Somadullah).
            Setibanya di tempat tujuan, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo ‘tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
            Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan kebon pesisir.
            Dengan semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walangsungsang dapat menyelesaikan perkerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau kebon pesisir  diberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadi pangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan KI Cakrabumi.
            Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah diatas laut).
            Seusai membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di kebon pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan berhasil bertemu Syekh Ibrahim di Campa.
            Di Campa Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh Ibrahim, selnjutnya Syekh Ibrahim menyuruh keduanya untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
            Setelah berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah.
            Syarif  Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan ini lahir lah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajan ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.

Syekh Bayanullah (adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
            Syekh Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari, putri Surayana, pengusa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, penguasa Kuningan. Ratu Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak Bratawijaya (Arya Kemuning). Meraka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang.

Kedatangan Pangeran Panjunan
            Bagian ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarif Bagdad, dan Syarif Khafid mempelajari Tasawuf yang tidak disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon.
            Syarif Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan ke Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga adiknya dan 1.200 pengikutnya yang di angkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan meminta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan. Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
            Pangeran Panjunan merupakan putra pertama dari Syekh Nurjati. Beliau menetap di daerah Panjunan dan mengembangkan industri gerabah di daerah tersebut. Pangeran Panjunan kemudian mendirikan Pesanggrahan Dakwah di Wringin Pitu (daerah Plangon Sumber, Kabupaten Cirebon) samapi akhir hayatnya dan dimakamkan di daerah tersebut.
            Sedangkan Syarif Abdurrakhim, putra kedua Syekh Nurjati, bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
            Mereka bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarif Bagdad menetap di Gunung Jati. Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putra nya diangkat menjadi mahkota.  Namun kedua putra nya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.

Wejangan Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
            Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 mendarat di Amparan Jati dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasehat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru,  yakni Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petunjuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam.
            Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya :
            “Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah itu?”.
            Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
            Sebelum meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun” , yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berperan bahwa Syekh Khafid adalah pengganti Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi.
            Beberapa saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Nurjati yang meninggal dunia. Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai Guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, di singkat Syekh Jati.
            Semasa hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamati setiap santri yang akan meninggal Pangguron, dengan perkataan “settana” artinya berpegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati.

Gapura Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
            Syekh Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
            Gapura bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15 – 17 Masehi.
            Pintu yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia(ruh) unutk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagai lambang kematian merupakan gambaran  yang sangat tepat dan sesuai dengan pribahasa Arab yang berbunyi “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu” , maut adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
            Jika pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambangan bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para malaikat itu bersayap.


Sumur Jalatunda
            Di pasembangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, Yakni sumur Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau sepanjang kehidupan. “jala” dari bahasa Arab “jalla” yang artinya luhur atau agung, dan “tundha” yang artinya titipan, sedankan “tegangpati”  berarti serah jiwa.

Nama-nama Tokoh yang Dimakamkan di Gunung Jati bersama Syekh Nurjati
            Tercatat beberapa makam tokoh-tokoh penting cirebon diantaranya :
1.      Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi)
2.      Syekh Siti Jenar
3.      Tentara Putri Ong Tin
4.      Ki Gedeng Jati
5.      Penghulu Karawang
6.      Pangeran Jaya Sampurna
7.      Ki Jaka Tawa
8.      Dewi Rara Panas
9.      Syekh Tolhah
10.  Letjen (Purn) Ismail Saleh














KESIMPULAN
            Dalam kegiatan observasi ini dan penulisan karya ilmiah ini kami dapat mengetahui tentang sejarah perkembangan islam di cirebon dan sejarah tentang Syekh Nurjati. Adapun kesimpulan lainnya sebagai berikut.
1.      Syekh Nurjati adalah tokoh perintis dakwah islam di wilayah Cirebon.
2.      Syekh Nurjati adalah seorang tokoh agama islam yang berdakwah di Giri Amparan Jati merupakan fakta sejarah bukan tokoh fiksi.
3.      Pembuktian keberadaan Syekh Nurjati menggunakan bukti sekunder dan ingatan kolektif masyarakat serta bukti arkeologis di sekitar makam Syekh Nurjati.

SARAN
            Agar melalui buku ini dapat masyarakat dapat mengetahui sejarah tentang Syekh Nurjati dan Sunan Gunung Jati , serta dapat mensosialisasikan tentang sosok Syekh Nurjati. Dan agar masyarakat tidak salah persepsi tentang Syekh Nurjati















DAFTAR PUSTAKA
 Drh. H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon : Zulfana Cierbon